Sulut Surplus Padi 7.000 Ton

Rakor Upsus Pajale 2019

Manado, KOMENTAR – Produksi padi di Sulawesi Utara pada tahun 2019 menunjukkan kinerja yang bagus, di mana terjadi surplus 7.000 ton. Begitu juga dengan jagung, yang tetap mengalmi surplus walaupun tidak banyak. Hal ini terungkap pada Rapat Koordinasi (Rakor) Upaya Khusus (Upsus) Padi, Jagung dan Kedele (Pajale), Senin (23/12) di Hotel Quality, Manado.

Rakor yang digelar oleh Kementerian Pertanian dan BPTP Balitbangtan Sulut ini digelar untuk menghimpun data pertanian khususnya luas lahan dan produksi padi, jagung dan kedele. “Rakor ini terkait evaluasi program upaya khusus

swasembada pangan terutama padi, jagung dan kedele. Secara keseluruhan, kinerjanya bagus, di mana padi mengalami surplus 7.000 ton dibanding tahun tahun 2018 lalu. Jagung memang belum surplus terlalu banyak, tetapi di beberapa kabupaten kinerjanya baik,” kata Kepala Pusat Ketersediaan dan Perawanan Pangan, Dr Andriko Notosusanto, MP.

Ia mengatakan, kinerja yang baik tersebut menunjukkan sinergi program di Sulut berjalan baik. Namun tantangan pertanian ke depan sangat berat. Apalagi berdasarkan data yang disampaikan, terjadi penurunan luas baku di Sulut dari 62 ribu ha menjadi 47 ribu ha. Penurunan tersebut menurut Andriko luar biasa, dan ini perlu diklarifikasi. “Saya sendiri kurang yakin jika benar terjadi penurunan luas baku di Sulut yang sangat tinggi. Sebab kenyataannya, di Sulut tidak ada kelaparan ataupun gizi buruk.

Jika benar Sulut mengalami penurunan luas baku yang sangat besar, maka tentu akan ada arus pangan yang sangat besar masuk ke Sulut. Padahal Sulut bukan merupakan daerah yang menjadi penerima, melainkan penyedia pangan untuk daerah lain, “ jelas Andriko.

Tahun 2020 mendatang, menurut Andriko, Kementerian Pertanian memiliki sejumlah program, yaitu meningkatkan ekspor daerah, Pemetaan daerah rawan pangan, Program pertaninan keluarga dan Pertanian masuk sekolah. “Beberapa kecamatan akan kita invtervensi, karena produksi pertaniannya tidak mencukupi kebutuhan masyarakatnya. Kami juga akan mengajak generasi mudah untuk menjadi petani, karena setiap tahun kita kehilangan 300 ribu petani,” kata Andriko.

Kepala BPTP Balitbangtan Sulut, Dr. Ir. Yusuf, MP juga mengatakan penurunan lahan tidak sebesar itu. “Data penurunan lahan tersebut memang perlu diteliti lagi. Sebab pemerintah juga memiliki program pencetakan luas lahan baku. Kalaupun ada perbedaan luas lahan baku, mungkin karena metodologi pengambilan luas lahan yang berbeda,” katanya.

Data luas lahan baku tersebut menurut Yusuf akan sangat berpengaruh terhadap distribusi sarana produksi. Jika data menunjukkan hanya ada 47 ribu ha luas lahan baku, sementara kenyataannya terdapa 57 ribu ha, tentu ada petani yang tidak tidak akan mendapakan sarana produksi. Hal tersebut akan berdampak pada ketimpangan petani.
Sementara itu, Penyuluah Pertanian Ahli Pertama BPTP Balitbangtan Sulut, Arnold Turang mengatakan, sinkron data luas lahan antara BPS dan BPN sangat penting untuk kejelasan data baku. “Bila terjadi ketidakjelasan data acuan seperti penjelasan kadis pertanian, maka akan berdampak buruk pada penyuluh pertanian di lapangan sebagai penggerak pertanian. Karena luas baku sangat berkorelasi dengan bantuan buat petani. Jadi harus jelas data yang akan dpakai. Bila tidak, yang akan dikejar petani bukan statistik dan BPN, tapi para penyuluh yang berhadapan langsung dengan pelaku utama yaitu petani,” katanya.(jou)

Komentar